Akibat pandemi flu Spanyol 1918, ada 900.000 kematian di Hindia Belanda hanya dalam kurun empat bulan, Agustus-November 1918. Pemerintah kolonial Hindia Belanda dinilai tak siap.
Pada 2 Maret 2020, Presiden Joko Widodo mengumumkan dua orang Indonesia positif Covid-19. Kabar itu menggemparkan seantero Indonesia. Masyarakat yang khawatir terhadap serangan virus yang lebih masif berbondong-bondong menimbun barang dan berburu masker.
Situasi ini tak jauh berbeda dengan pandemi flu Spanyol yang merebak pada 1918. Hampir tak ada negara yang luput, termasuk Indonesia yang saat itu masih bernama Hindia Belanda.
Para ahli memperkirakan jumlah korban di seluruh dunia 21,5-50 juta jiwa. Di Hindia Belanda, sejarawan Colin Brown menulis dalam artikelnya, ”The Influenza Pandemic of 1918 in Indonesia”, setidaknya 1,5 juta orang di Hindia meninggal akibat pandemi ini.
Angka ini tak luput dari respons pemerintah yang lambat, pengambilan kebijakan kesehatan yang tak efektif, dan orang- orang tak bertanggung jawab yang memanfaatkan situasi.
Respons lambat
Pandemi flu Spanyol di Hindia Belanda bisa dikategorikan ke dalam dua gelombang. Gelombang pertama terjadi pada Juli-September 1918, dengan kasus pertama yang dilaporkan terjadi di kawasan pelabuhan Pangkatan (Sumatera Utara), Juni 1918. Diduga kuat virus itu ditularkan kuli kontrak dari Singapura yang datang untuk bekerja di perkebunan di Sumatera.
Pada bulan yang sama, virus ini diduga sudah mengontaminasi 5 persen total populasi di Surabaya, dan hanya dalam tempo beberapa minggu wabah ini sudah menyerang Tanjung Pandan (Belitung) hingga Weltevreden (Batavia).
Gelombang lebih masif terjadi pada tahap kedua Oktober-Desember 1918. Virus ini menyerang hingga ke kawasan Hindia Timur, bahkan tetap bertahan di beberapa wilayah hingga Januari 1919. Hanya dalam tempo singkat, flu Spanyol menyebar hampir di seluruh Hindia Belanda.
Laporan Burgerlijken Geneeskundigen Dienst (BGD, Dinas Kesehatan Hindia Belanda), tahun 1920 menyebutkan hampir tak ada wilayah di Hindia Belanda yang tak diserang virus flu Spanyol.
Pada awal kemunculannya, pandemi ini dianggap pemerintah kolonial sebagai influenza biasa yang tak berbahaya (ongevaarlijke ziekte). BGD pun terlihat pasif dalam penanganan penyakit ini. Padahal, dengan kemajuan komunikasi saat itu, pemerintah kolonial seharusnya paham betul bahwa wabah serupa sudah menelan jutaan korban di Eropa dan Amerika.
BGD awalnya bahkan salah kaprah karena menganggap serangan influenza ini sebagai kolera. Salah seorang dokter di Batavia bahkan menyatakan flu Spanyol jauh lebih ringan dibandingkan flu pada umumnya. Ironisnya, pernyataan menyesatkan itu dikutip koran-koran di Hindia Belanda.
Selanjutnya, atas rekomendasi BGD, diadakanlah vaksinasi kolera besar-besaran di sejumlah daerah. Terang saja tindakan ini sama sekali tak menyelesaikan masalah. Korban terus berjatuhan. Di sini terlihat jelas pemerintah kolonial berupaya menjaga keamanan dan ketertiban (rust en orde) di negeri jajahannya.
Apalagi saat itu belum ada vaksin atau obat-obatan yang bisa dipakai untuk mengobati flu Spanyol. Di tengah suasana perang dunia yang tengah berkecamuk, tiap negara, termasuk Belanda, tentu berupaya menutupi kelemahannya.
Rendahnya literasi dan buruknya pengetahuan masyarakat tentang kesehatan membuat banyak pihak menganggap pandemi itu ”kutukan” atau ”hukuman”. Akibatnya, langkah penanganan yang diambil kerap tak sesuai kaidah medis.
Di Solo, penduduk membakar kemenyan dan bunga setaman sembari menyebut nama Sunan Lepen. Mereka juga diharuskan minum air kelapa muda. Ritual itu dipercaya membuat tubuh kebal. Namun, itu tak terbukti ampuh. Hanya dalam beberapa minggu, jumlah korban flu Spanyol di Solo justru kian meningkat.
Di Kudus dan Medan, ratusan orang Tionghoa menggelar prosesi arak-arakan toapekong selama beberapa hari guna menangkal penyebaran flu Spanyol yang semakin masif. Di Medan, prosesi ini diwarnai sejumlah bentrokan kecil dengan warga setempat yang menganggap ritual itu mengganggu pengguna jalan.
Situasi lebih parah terjadi di Kudus, Jawa Tengah, ketika prosesi yang dilakukan dalam sekejap berubah menjadi persekusi. Berawal dari hinaan yang dilontarkan beberapa oknum terhadap jalannya prosesi ini, pecahlah bentrokan yang kemudian bermuara pada pembakaran dan pembunuhan. Belasan orang Tionghoa terbunuh dan kawasan pecinan di kota itu hancur lebur.
Seiring dengan jumlah korban yang terus berjatuhan di Hindia, permintaan akan peti mati juga meningkat dengan signifikan. Beberapa pembuat peti mati memanfaatkan situasi ini untuk mengeruk keuntungan dengan menaikkan harga peti mati berkali-kali lipat.
Mereka hanya memproduksi peti mati ukuran besar karena keuntungan yang didapat jauh lebih banyak. Banyak dokter juga menaikkan tarifnya berkali-kali lipat.
Semua rumah sakit dan klinik penuh dengan pasien. Banyak yang terpaksa harus ditolak karena tak ada kamar. Dokter kebingungan dengan tindakan yang harus diambil karena mereka belum pernah menangani penyakit serupa sebelumnya. Mereka terpaksa menggunakan kina dan aspirin sebagai pertolongan darurat.
Keterbatasan jumlah dokter di Hindia menyebabkan pemerintah kolonial terpaksa mengirimkan mahasiswa-mahasiswa STOVIA di Batavia ke beberapa daerah. Menurut catatan Koloniaal Weekblad (1919), seorang dokter harus menangani lebih dari 800 pasien pada masa-masa mencekam itu.
Peran surat kabar
Beragam surat kabar di Hindia, terlepas dari ideologi yang dianut, berupaya melaporkan pandemi ini secara obyektif. Namun, tak sedikit yang berupaya menuai sensasi dengan menyebarkan kabar-kabar burung terkait pandemi ini.
Dalam situasi tersebut, surat kabar memegang peran kunci dalam mengungkap fakta-fakta baru yang berupaya disembunyikan.
Karel Zaalberg, editor dari Bataviaasch Nieuwsblad, menyebut, pemerintah tidak mengambil langkah cepat dalam penanganan pandemi ini, dan malah terkesan menutup-nutupi fakta sesungguhnya. Pewarta Soerabaia menyebut BGD tak memiliki solusi konkret dan terkesan tak melakukan apa-apa untuk mengatasi masalah ini.
Merespons berbagai kritik itu, pemerintah kolonial menyalahkan penduduk Bumiputra yang tak menjaga kebersihan dengan baik. Malagizi, gaya hidup tak sehat, dan keengganan mereka mengadopsi pengobatan Barat menjadikan mereka rentan terkena penyakit.
Gejala tak lazim dari korban flu Spanyol yang kerap diikuti pneumonia juga menambah kebingungan BGD mengenai tindakan medis yang harus diambil.
Dalam rapat Volksraad (Dewan Rakyat) hanya Dr Abdul Rivai yang bersuara lantang mengkritik lambatnya respons pemerintah dalam penanganan flu ini. Ia mengemukakan bagaimana orang-orang meninggal seperti tikus (nog sterft als ratten) karena lambatnya tindakan pemerintah.
Angka kematian di Hindia Belanda, terutama di Jawa, melonjak signifikan akibat pandemi ini. Angka 900.000 kasus kematian di Hindia Belanda hanya dalam kurun empat bulan (Agustus-November 1918) dinilai tak wajar.
Rivai mengambil Keresidenan Pasuruan sebagai contoh kasus, yang selama kurun 1-14 November 1918 angka kematian 5.187 jiwa. Padahal, statistik tahun sebelumnya mencatat angka 496 di wilayah sama. Ia juga menyebut bagaimana pasiennya yang kurang mampu tak bisa dapat obat dari apotek pemerintah karena habis atau harganya tak masuk akal.
Untuk itu, Rivai menyarankan Pemerintah Belanda belajar dari Pemerintah Ceylon (Sri Lanka) dan Straits Settlement (Penang, Malaka, dan Singapura) yang sigap menangani pandemi flu Spanyol di negaranya.
Upaya yang terlambat
Tindakan penanganan pertama BGD terhadap pandemi flu Spanyol baru dilakukan 16 November 1918 dengan membentuk ”influenza commissie”, yang terdiri dari CD de Langen (ketua), GOE Lignac (sekretaris), PC Flu, AA Hulshoff, J Huizinga, dan Mas Sardjito (anggota). Komisi ini bertujuan menginvestigasi penyakit flu Spanyol dan memberikan rekomendasi mengenai tindakan yang harus dilakukan.
Pada Mei 1919, komisi ini mengeluarkan tujuh poin rekomendasi, salah satunya mendorong penerbitan pamflet dan poster dalam bahasa setempat untuk kemudian disebarkan hingga ke kampung-kampung.
Pada 1920, pemerintah kolonial melalui Balai Poestaka memublikasikan dua buku panduan mengenai pencegahan dan penanganan influenza. Pada 20 Oktober 1920 pemerintah juga mengesahkan Influenza Ordonnantie yang secara khusus mengatur tentang keluar-masuknya kapal di pelabuhan-pelabuhan di Hindia Belanda, hingga bagaimana tindakan yang harus diambil ketika ada seseorang yang dicurigai terkena virus flu Spanyol.
Namun, ketika kedua buku dan legislasi itu ditetapkan, pandemi flu Spanyol mulai hilang di Hindia Belanda. Sekitar 1,5 juta jiwa telanjur menjadi korban selama dua tahun sebelumnya.
Kasus flu Spanyol 1918 menunjukkan kebijakan kesehatan pemerintah kolonial Belanda yang lebih bersifat kuratif dalam menghadapi pandemi ini. Tidak ada upaya pencegahan yang signifikan sekalipun koran-koran sudah mewartakan keganasan virus itu sejak Juli 1918. Akibatnya, ketika pandemi menyerang, pemerintah kebingungan.