Ternyata jauh pada tahun 70an, biro iklan sudah menghadapi masalah yang berkaitan dengan komisi media atau media commission. Pada masa tersebut banyak media house yang menolak memberikan komisi kepada biro iklan dengan alasan bahwa pada akhirnya iklan yang dipasang oleh biro iklan sebetulnya akan mereka terima juga tanpa melalui biro iklan sekalipun. Ada memang sebagian media yang merasa wajar memberikan komisi kepada biro iklan dengan asumsi bahwa perjuangan biro iklan dalam mengenalkan media mereka kepada pengiklan perlu dihargai, sementara sebagian lagi tidak berasumsi seperti itu. Pada masa tersebut biro iklan benar-benar hanya menghidupi diri dari pekerjaan kreatif.
Pada tahun-tahun tersebut agency biasanya lebih banyak melakukan pekerjaan kreatif sementara media placement dilakukan oleh pengiklan. Para pengiklan merasa bahwa media placement adalah sesuatu pekerjaan yang mudah dan agency sebaiknya lebih fokus kepada pekerjaan kreatif yang memang sulit. Namun, perusahaan-perusahaan kecil menengah seringkali meminta bantuan media dalam menyiapkan materi kreatif sehingga biro iklan semakin kewalahan menghidupi diri. Pada masa selanjutnya, agency mulai menawarkan jasa penempatan iklan kepada pengiklan dengan cara menawarkan pembayaran kredit dimana agency melakukan pembayaran terlebih dahulu kepada media dan pengiklan akan membayarnya jauh hari kemudian. Praktek ini mulai disukai oleh pengiklan dan secara perlahan menyerahkan penempatan iklan kepada agency. Nah, sebagai imbalan atas pembayaran yang mereka lakukan di depan, agency meminta komisi kepada media demi membayar bunga atas uang yang mereka sudah bayarkan di depan sekaligus sebagai uang jasa penempatan iklan.
Namun sayangnya, di masa berikutnya lagi, mulailah timbul masalah pembayaran dari pihak pengiklan yang kemudian secara perlahan merugikan dan mengancam eksistensi agency. Semakin banyak pengiklan yang terlambat dalam melakukan pembayaran bahkan penundaan pembayaran bisa terjadi dalam kurun waktu yang sangat lama, atau jauh melewati tenggat yang sudah ditetapkan. Media-media house menganggap bahwa komisi yang mereka berikan kepada biro iklan sudah lebih dari cukup (15 hingga 20 persen) dan oleh karena itu agency wajib membayar tepat waktu sekalipun pengiklan belum melakukan pembayaran.
Agency atau biro iklan mulai kewalahan bahkan mengalami kerugian demi kerugian baik dari segi keuangan maupun tekanan persaingan. Agency bermodal kecil mulai tidak mampu membayar tepat sesuai tenggat waktu sekalipun media house sudah memundurkannya hingga 45 hari sejak tanggal penagihan. Pengiklan juga merasa sah untuk tidak melakukan pembayaran tepat waktu dengan beragam alasan yang seolah sah untuk diterima. Media dan biro iklan menghadapi dilema yang sangat pelik. Tekanan pembayaran yang dilakukan media terhadap biro iklan jelas tidak mudah untuk diteruskan kepada pengiklan sebab pengiklan bisa saja memindahkan atau memilih biro iklan lain yang memberi kelonggaran pembayaran yang lebih lama.
Dalam buku yang diterbitkan pada tahun 1976 tersebut dinyatakan bahwa Agency dengan jumlah client aktif hingga puluhan bahkan ratusan tidak merasakan dilema ini sebab perputaran uang mereka sangat lancar dan media house relatif enggan menekan mereka seperti tekanan yang mereka alamatkan kepada agency kecil.
Hari ini, di era milenial, 40 tahun kemudian, banyak agency yang mengalami dilema yang sama dimana penundaan pembayaran yang diajukan oleh pengiklan seringkali memberatkan mereka dan ujung-ujungnya juga memberatkan media house dan juga pihak ketiga lainnya seperti production house. Jika misalnya jumlah client yang dikelola suatu biro iklan sangat terbatas maka tentu saja keuntungan yang dihasilkan juga akan terbatas dan jika masih dibebani dengan pembayaran client yang tersendat tentu akan memberatkan arus kas perusahaan.
Menerima dan melayani client dengan pola pembayaran yang sangat tidak jelas ditambah dengan ancaman pemutusan hubungan kerja dalam waktu yang pendek tentu menjadi dilema bagi perusahaan periklanan khususnya perusahaan dengan billing terbatas. Akhirnya perusahaan bermodal besar akan mengambil alih persoalan atau dilema ini dan membuat begitu banyak biro iklan kecil menengah gulung tikar. Pada gilirannya, persoalan ini akan membebani media-media house yang dipaksa pontang-panting dalam membiayai operasi mereka sehari-hari. Dalam kondisi seperti ini ancaman terhadap kesejahteraan profesional yang bekerja di industri periklanan dan media semakin nyata. Satu hal lagi, semakin kuatnya hegemoni perusahaan-perusahaan besar tertentu atas industri ini berpotensi menciptakan oligopoli.
sumber : advertising-indonesia.id