Ada beberapa aturan atau metode penetapan budget advertising. Diantaranya ada empat yang paling sering digunakan yaitu:
1. Menggunakan Seluruh Dana Yang Masih Tersisa Setelah Biaya Untuk Seluruh Aspek Penting Produksi, Pemasaran Dan Operasional Sudah Dialokasikan
Model ini sering digunakan oleh perusahaan-perusahaan yang memiliki sumberdaya terbatas. Mereka memutuskan besarnya biaya advertising dengan menggunakan sisa yang masih tersedia setelah pembiayaan atas seluruh aspek penting selesai dihitung atau sudah dialokasikan. Itu berarti bahwa perusahaan ini tidak akan berbelanja besar untuk advertising atau tidak akan membuang banyak dana untuk advertising. Beriklan hanya jika ada dana yang masih sisa saja. Jika suatu saat mereka melihat bahwa ternyata dengan beriklan hasilnya justru makin baik, maka biaya iklan bisa saja dinaikkan secara proporsional. Bagi perusahaan-perusahaan ini advertising bukanlah faktor penting yang berpengaruh terhadap penjualan. Bagi mereka, penjualan itu bertindak independen dan tidak dipengaruhi oleh advertising. Sepanjang masih ada dana sisa mereka akan beriklan. Jika anda mempunyai client seperti ini, sebaiknya anda berharap saja agar selalu ada sisa dana untuk dialokasikan sebagai budget iklan.
2. Berdasarkan Persentase Penjualan
Model ini sangat umum atau banyak digunakan. Perusahaan menetapkan biaya advertising berdasarkan persentase penjualan. Total penjualan sebelumnya atau prediksi penjualan berikutnya sering digunakan sebagai acuan. Brand-brand FMCG rata-rata mengalokasikan sekitar 5 hingga 10 persen dari total penjualan sebagai biaya iklan. Bisa dibayangkan berapa besar dana advertising yang dimiliki brand-brand terkenal yang menggunakan model ini. Tidak heran jika mereka sangat menguasai space iklan media khususnya media televisi. Kehadiran mereka tampak sangat dominan jika dibandingkan dengan pesaing-pesaing mereka yang penjualannya kalah jauh. Pada umumnya, jika penjualan yang timbul ternyata lebih meningkat dengan hanya mengambil 5 persen dari total penjualan sebelumnya, biasanya perusahaan tidak akan meningkatkan alokasi budget advertising yang lebih tinggi lagi di tahun-tahun berikutnya sebab budget advertising dinilai sudah pada level optimal. Sayangnya bagi biro iklan, perusahaan besar dan berpengaruh yang memilih model ini belum tentu akan selalu beriklan. Komunikasi iklan yang mereka lakukan biasanya hanya untuk menjaga persepsi loyal customer mereka yang pada dasarnya membeli bukan lagi karena dorongan iklan.
3. Berdasarkan Tujuan dan Pekerjaan
Model ini adalah rujukan. Budget iklan ditetapkan berdasarkan tujuan dan pekerjaan. Misalnya jika tujuan komunikasi iklan adalah mencapai 70 persen brand awareness maka pengiklan akan meminta biro iklan untukmengembangkan program advertising yang mampu mencapai tujuan tersebut. Jika diputuskan bahwa dibutuhkan average frequency sebanyak 7 kali dalam seminggu untuk mencapai tujuan tersebut maka budget advertising akan ditetapkan dengan menghitung terlebih dahulu besarnya budget yang dibutuhkan untuk mencapai frekuensi tersebut. Persoalannya adalah seringkali koneksitas antara awareness, frekuensi dan penjualan belum tertulis dengan jelas. Banyak agensi multinasional yang sudah melakukan pemodelan ini, diantaranya Dentsu dan Mindshare.
4. Berdasarkan Kompetitor
Perusahaan terlebih dahulu mencari data tentang belanja pesaing dan kemudian menetapkan budget iklan berdasarkan data tersebut. Perang iklan di media seringkali terjadi antar brand yang menggunakan pendekatan ini. Mereka sangat percaya efek iklan terhadap penjualan. Mindset audiens terhadap brand bahkan pembelian bisa dirubah lewat iklan. Biro iklan paling menyenangi klien seperti ini. Namun ada potensi timbulnya kekecewaan atau persoalan di kemudian hari sebab belum tentu spending iklan yang sama atau sebesar kompetitor akan menciptakan efek penjualan yang signifikan. Bagi perusahaan baru dengan brand baru disarankan berhati-hati menggunakan pendekatan ini sebab SOV (share of voice) yang sama belum tentu menciptakan share of mind atau efek komunikasi yang sama. Alih-alih menikmati penjualan, brand yang beriklan malah tenggelam. Efek dominasi brand lama atau kuat masih sangat perlu dipertimbangkan.
Sumber : advertising-indonesia.id