Top Choice for Your Business

Klik untuk hubungi kami >> Contact Us

Seramnya Taper Tantrum, Bencana yang Bisa Terjadi Pada 2022

Perekonomian Indonesia diprediksi akan mengalami gelombang ancaman tahun depan. Salah satunya, fenomena taper tantrum yang dikhawatirkan terjadi seiring dengan rencana pengetatan kebijakan bank sentral.

Untuk saat ini, bank sentral Amerika Serikat (The Federal Reserve/The Fed) memang masih menahan suku bunga. Namun, sepertinya kenaikan Federal Funds Rat bisa terjadi lebih cepat dari perkiraan semula.

Mulanya, para peserta rapat Komite Pengambil Kebijakan The Fed (Federal Open Market Committee/FOMC) condong dengan perkiraan suku bunga acuan naik pada 2023 mendatang.

Namun dalam proyeksi terbaru yang tercermin dari dotplot, semakin banyak anggota FOMC yang memperkirakan suku bunga acuan bisa naik tahun depan. Pelaku pasar, pun demikian.

Mengutip CME FedWatch, probabilitas suku bunga acuan naik 25 basis poin (bps) menjadi 0,25 – 0,5% pada Desember 2021 adalah 8,31%, naik dibandingkan posisi kemarin, seminggu lalu, dan sebulan lalu.

Memang, suku bunga akan naik ketika dihadapkan dengan ekspektasi inflasi yang meninggi. Laju inflasi yang terakselerasi menandakan ‘harga’ uang turun karena terlalu banyak yang beredar di masyarakat.

Jadi, suku bunga perlu dinaikkan untuk menyedot uang yang terlalu banyak. Saat suku bunga naik, maka masyarakat akan tergiur untuk menyimpan uang di lembaga keuangan sehingga peredarannya di perekonomian bisa dikurangi.

Kini, ekspektasi inflasi kini meninggi di negeri Paman Sam. Bahkan, The Fed sudah menaikkan proyeksi inflasi tahun ini dari 1,8% menjadi 2,4%. Artinya, kemungkinan suku bunga acuan AS naik lebih cepat sepertinya sebuah keniscayaan.

Baca Juga  Pemkot Makassar Bentangkan Bendera Merah Putih 1000 Meter di Atas Laut

Situasi ini membuat ingatan kita melayang ke periode 2013 – 2015, saat The Fed mulai menebar ancang-ancang untuk menaikkan Federal Funds Rate, atau periode yang dikenal dengan nama taper tantrum.

Saat krisis keuangan global yang meruntuhkan pasar keuangan AS, The Fed memberikan stimulus besar-besaran seperti memangkas suku bunga acuan dan memborong surat berharga untuk kembali menggairahkan ekonomi yang lesu.

Pada 2013, mulai terlihat tanda-tanda ekonomi AS pulih. The Fed mulai memberikan sinyal bahwa kebijakan ultra longgar akan dihentikan. Dua tahun menanti, Janet Yellen, sang ketua The Fed kala itu baru menaikkan bunga di akhir 2015.

Selama dua tahun pasar keuangan dunia diliputi kegalauan. Ketidakpastian kapan suku bunga acuan AS bakal naik membuat pelaku pasar mengambil posisi. Mereka memborong dolar, sehingga saat suku bunga betul-betul naik bisa meraup untung.

Sikap ini membuat permintaan dolar AS meroket dan membuat mata uang lain melemah termasuk rupiah. Mengawali 2013 lalu, rupiah masih berada di kisaran Rp 9.000/US$. Namun akhir 2015, mata uang Garuda sudah di atas Rp 13.000/US$.

Mengutip laporan Kementerian Keuangan bertajuk ‘Pengaruh Quantitative Easing dan Tapering Off serta Indikator Makroekonomi terhadap Nilai Tukar Rupiah’, disebutkan kebijakan pengurangan QE yang dikeluarkan oleh The Fed pada 2013, terbukti memiliki hubungan negatif dan signifikan terhadap pergerakan nilai tukar rupiah.

Baca Juga  Bukan Main! Cina Basmi Nyamuk Pakai Teknologi Nuklir

Dalam laporan tersebut kemudian, mengharapkan agar Bank Indonesia (BI) selaku pengambil alih kebijakan moneter bisa mengatasi dampak negatif dari risiko kebijakan yang dikeluarkan oleh Bank Sentral di Amerika Serikat.

“Diharapkan Bank Indonesia dapat mempertahankan keberhasilannya dalam mengatasi dampak negatif dari salah satu jenis kebijakan moneter non konvensional, baik melalui kebijakan suku bunga ataupun kebijakan makroprudensial yang efektif.”

“Hal ini dikarenakan seiring dengan kemajuan teknologi dan meningkatnya kecepatan pertukaran informasi, membuat kebijakan moneter non konvensional semakin berkembang dan menghasilkan berbagai jenis kebijakan baru,” tulis laporan Kemenkeu dikutip CNBC Indonesia.

Selain melemahnya rupiah kala itu, pada bulan Juli 2013, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tumbang sangat dalam. Bahkan saat itu IHSG jatuh lebih dari 20%, atau sudah memasuki fase /bearish/(turun).

Salah satu penyebab dari tumbangnya IHSG kala itu juga berasal dari rencana the Fed mengurangi stimulus. Keinginan the Fed mengurangi stimulus telah membuat dana asing yang parkir di Indonesia ramai-ramai keluar dari Indonesia.

Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia (BEI), sepanjang tahun 2013 saat itu, investor asing yang mencatatkan net sell asing di pasar saham sebesar Rp 15,29 triliun. Nilai dana asing yang keluar itu hampir sama dengan nilai dana asing yang masuk tahun 2012, sebesar Rp 15,2 triliun.

Baca Juga  Jalani Pemotretan, Riasan Wajah Dimas Ahmad Bikin Warganet Heran

Melihat situasi sekarang, wajar jika Presiden Joko Widodo (Jokowi) beserta jajarannya mulai khawatir. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati bahkan sudah menyiapkan sejumlah instrumen untuk mengatasi hal itu.

“Kita pernah belajar dari fenomena terdahulu seperti taper tantrum di tahun 2013, dimana ekspektasi normalisasi kebijakan moneter AS dapat mendorong pembalikan arus modal dari negara berkembang,” jelas Sri Mulyani

Hal senada juga diungkapkan Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo juga mewaspadai adanya tapering off atau pengurangan stimulus berupa pembelian surat berharga di pasar surat utang yang dilakukan oleh Bank Sentral Amerika Serikat atau The Fed.

“Di pasar keuangan memang terjadi kenaikan US Treasury yield karena stimulus fiskal yang besar US$ 1,9 triliun. Ketidakpastian ini masih berlangsung meskipun sudah sedikit mereda karena kejelasan arah The Fed yang tahun ini belum akan melakukan tapering,” jelas Perry

“Namun tahun depan, kita masih memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan bahwa The Fed akan mulai mengubah kebijakan moneternya, mulai mengurangi intervensi likuiditas bahkan melakukan lakukan pengetatan dan kenaikan suku bunga,” kata Perry

WhatsApp chat